Monday, January 28, 2008

Bapak Kita DARIPADA Soeharto


Aku tidak tau, harus bagaimana merespon kematian Soeharto. Yang pasti, ada rasa senang. Bukan karena aku bagian dari korban kekejaman rezim Soeharto yang memiliki dendam kepada bapak pembangunan itu, tapi lebih karena…. hilang sudah ciri khas bahasa Indonesia Soeharto yang salah kaprah. Sebagai pecinta Bahasa Indonesia (karena 5 tahun tinggal di Sastra Indonesia), aku pikir Pak Harto berjasa besar dalam perusakan tata bahasa baku kita. Dan parahnya lagi, tata bahasa yang sudah dirusak itu diikuti oleh orang-orang di bawahnya, karena mungkin sangat mengidolakan Pak Harto.

Masih ingat kata “daripada” ?
Pak Harto suka menempatkan “daripada” tidak sesuai fungsi dan posisinya.

Atau akhiran “an” yang selalu diganti “en” ?
Menekanken, mengutaraken, membenarken…dan ken ken ken yang lain.

Semoga setelah Pak Harto tiada, tidak ada lagi yang merusak bahasa Indonesia kita. Tapi kalo dialek Butet Kertarajasa yang sedang menirukan gaya bicara Soeharto, itu pengecualian yang special !!! bolehlah……..

Sunday, January 27, 2008

Uang dan Polisi


Kemaren Bu Heri datang lagi ke toko. Kalau sebelum-sebelumnya ia belanja untuk keperluan rumah barunya (baru pindah dari bojonegoro), sekarang dia belanja kado untuk Ibu Kapolres. Bersama dua orang ibu lain, yang tentu saja para istri polisi, Bu Heri memilih-milih Bed Cover. Satu jam berdebat mengenai bedcover yang pantas buat Bu Kapolres, akhirnya Bu Heri memilih tiga bedcover merk Camilla (which is my own brand, hehehe.thanks to Yuyus yang sudah bikinin logo). 400 kali 3, jadi 1.200.000.

Sebelum membayar, Bu Heri bercerita padaku. Bahwa ada pergantian Kapolres Jombang. Sebagai istri salah satu petinggi kepolisian resort jombang, Bu Heri berkewajiban memberikan kenang-kenangan kepada Bu Kapolres menjelang kepindahannya.

“Berapa Mbak Elsa?”
“Cuman satu juta dua ratus kok bu...”
Bu Heri mengeluarkan dompet tebalnya dari tas kulit warna coklat tua. Membuka dompet, dan menghitung uang di dalamnya. Sekejap kemudian Bu Heri mendadak berhenti menghitung uangnya.
“Loh...ngapain pakai uang sendiri...” gumamnya. Bu Heri memasukkan dompetnya lagi ke dalam tas, dan mengeluarkan amplop coklat yang sangat tebal. Aku tidak tau pasti, berapa ikat 100ribuan di dalamnya. Diambil hanya 1.200.000, ketebalan amplopnya seakan tidak berkurang sama sekali.

Hhhmm.......

Aku cerita ke ibu. “Bu, orang-orang tuh kok uangnya banyak banget ya? Bisa belanja tapi gak pake duitnya sendiri. Trus itu duit siapa yang dipake???”

“Yaaaaaah...kamu belom tahu. Dua hari yang lalu, Kapolres yang baru datang. Beli springbed Alga yang paling mahal, beli lemari, beli macem-macem lah... total 40juta. Datang cuman milih-milih. minta nota, totalnya berapa. Trus pergi. Satu jam kemudian, datanglah beberapa polisi yang bayar belanjaan pak kapolres tadi”

“ck ck ck......”

“duluuuuuu yang sebelumnya juga lebih parah. Baru pindah, gak mau tinggal di rumah dinas. Kontrak rumah di Mahameru (perumahan yang bisa dikatakan paling elit di jombang), setahun 90juta. Perabotannya juga belanja di kita. Semuaaaaaa baru! Aku lupa totalnya berapa”

“kok ibu tau? Jangan berburuk sangka”

“ya..ya... astaghfirullaaaaah... tapi itu yang cerita ya ajudannya. Yang ditugasnya bayar setiap belanjaan. Termasuk bayar kontrakan, notaris, belanjaan isi rumah. Semua. Dari duluuuuuuu sampai sekarang, gak pernah berubah”.

Hhmm.....

Kalo kepolisian uangnya banyak... kenapa masih suka suap?
Kalo kepolisian uangnya banyak... kenapa masih aja main kotor?

Bahkan ada beberapa oknum polisi yang lebaran kemaren datang ke toko abah. Dan tanpa rasa malu, minta uang. Ngomongnya sih bagi-bagi berkah, pake istilah THR, atau apalah namanya. Tapi tetep aja minta uang. Kenapa nggak minta ke kapolres yang sanggup kontrak rumah setahun 90 juta? Atau yang sekali belanja, 40 juta langsung ludes??

Dasar polisi!!!!


Saturday, January 26, 2008

Karena Kamu Cantik dan Mahal

ini kisah beberapa tahun yang lalu, ketika aku baru masuk SMU.



“Kenapa ya perempuan harus pake jilbab?” pertanyaannya tidak kujawab.

“Kak, gini….udah bener ?” tanya Nona lagi, adikku yang saat itu baru saja masuk SMPN 1 Jombang. Dia berdiri di depan cermin dalam kamarku, bingung bagaimana caranya memakai jilbab yang rapi dan benar.

Aku lantas membantunya merapikan jilbab putih itu di kepalanya. Menyematkan peniti kecil di bawah dagunya, di balik jilbab agar tidak terlihat dari luar. Dia tampak heran bagaimana aku melakukannya dengan cepat dan hasilnya rapi. Sementara dia kebingungan bila harus menyembunyikan peniti kecil di balik jilbab padahal lipatan jilbab di sisi pipinya saja belum juga bisa rapi.

Tersenyum aku melihat kebingungannya. Aku jadi sangat iri. Adikku ini memutuskan sendiri akan memakai jilbab. Dulu aku tidak begitu.

Masa SMP aku habiskan di Surabaya, di sebuah sekolah islam berasrama. Tentu saja jilbab dan baju serba panjang menjadi peraturan utama bagi murid-murid perempuan. Mau tidak mau, dengan sangat terpaksa akupun memakai jilbab. Bagiku saat itu, jilbab sangatlah membelenggu gerak dan peran gadis kecil seumurku yang sangat aktif mengikuti berbagai kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah. Aku masih ingat, ketika mengikuti lomba paduan suara antar SMP se-Surabaya, tim kamilah satu-satunya tim yang memakai jilbab. Atau ketika aku mengikuti lomba membaca cerita dalam bahasa inggris yang diadakan sebuah universitas negeri, peserta SMP yang berjilbab saat itu bisa dihitung dengan jari. Aku merasa malu dengan jilbabku karena menjadikanku golongan minoritas.

Karena merasa kurang nyaman berjilbab, selama SMP aku sering mencuri-curi kesempatan mencopot jilbabku. Setiap jumat (hari libur kami bukan minggu seperti sekolah lain), aku dan teman-teman sering menggunakan kesempatan ini untuk sekedar jalan-jalan (baca: mejeng khas anak SMP) ke Tunjungan Plaza, Gramedia Basuki Rahmat, Plasa Surabaya dan lain-lain. Hanya untuk jalan-jalan atau sekedar makan di Kentucky Fried Chicken karena uang saku yang tidak berlimpah. Saat-saat itulah kami merasa sangat bebas, karena begitu berhasil keluar dari asrama, kami langsung membuka jilbab agar merasa sama seperti anak-anak SMP lainnya.
Tiga tahun di SMP bagiku merupakan tahun-tahun hidup dalam belenggu jilbab. Maka ketika aku mulai masuk SMA, aku ingin merasakan perubahan. Aku memilih sekolahku sendiri, karena pada waktu SMP aku hanya menuruti perintah orang tua. Alhamdulillah nilaiku bagus, sehingga langsung bias diterima di sekolah favorit, SMU Negeri 2 Kediri. Aku mendaftar sendiri, mengambil seragam sendiri. Dan yang kuambil adalah paket seragam putri tidak berjilbab. Ketika aku pulang, kuceritakan maksud dan keinginanku pada Ibu. Dengan bijaksana, ibu membolehkan pilihanku meskipun tidak mendukungnya.

Aku mulai tinggal di tempat kost dekat sekolah. Hari itu merupakan awal dari rangkaian Penataran P4 dan masa orientasi murid baru. Jalan kaki, aku berangkat ke sekolah yang hanya berjarak 500meter. Pukul 06.30 harus sudah di sekolah. Tapi pukul 06.00 aku masih bingung menata rambutku. “Enaknya diapain ya?” pikirku. Dikepang, dikuncir dua kanan-kiri, diikat ekor kuda, pake bando, pake jepit atau dibiarkan terurai hingga tampak indah diterpa angin……
Cepat-cepat dan agak berlari kecil aku menuju sekolah baruku. Aku melihat ratusan murid baru yang sama denganku. Berseragam putih abu-abu, rok span selutut. Sekejap aku merasa sangat bangga karena kini tidak lagi berbeda, bukan lagi golongan minoritas. Tapi semakin jauh aku melangkahkan kaki, semakin aku merasa tidak nyaman. Tatanan rambutku rusak dan tidak rapi lagi. Telingaku terasa dingin. Leherku geli digelitik angin. Tanganku panas disengat matahari. Betisku juga terasa aneh karena terbuka. Kaki-kakiku jadi berat untuk melangkah. Tiba-tiba aku merasa telanjang. Setiap ada orang yang menatap atau sekedar melirik, aku sangat merasa bersalah seakan-akan aku sama sekali tidak memakai pakaian.

Sepulang dari sekolah, aku segera menelpon Ibu, mengatakan padanya bahwa aku ingin memakai jilbab lagi. Ibu langsung datang dari Jombang membawakan baju-baju panjangku. Di kamar kostku, sambil menjahit bet sekolah baruku pada seragam lengan panjang, ibu tiba-tiba berkata “Karena kamu itu cantik, dan kalau cantik itu harus disimpan. Gak boleh dipamer-pamerin ke orang-orang. Sembunyikan dengan pake jilbab. Pasti aman”.

Beruntung sekali aku punya Ibu seperti itu, tidak marah ketika aku menanggalkan jilbab, dan tidak menggurui atau menghujaniku dengan ribuan ceramah ketika aku salah langkah.
Hari-hari berikutnya aku tidak lagi merasa telanjang. Karena sejak itu, aku merasa baru berpakaian jika telah memakai jilbab.. Aku merasa sangat bebas selama duduk di dalam kelas karena teman-teman cowokku tidak mungkin bisa mengintip celana dalamku seperti yang mereka lakukan pada teman-teman perempuan yang memakai rok. Dan ternyata jilbab berikut baju-baju panjang yang menyertainya, bukanlah belenggu bagi perempuan. Aku juga merasa nyaman jika harus duduk bersila di masjid sementara teman-temanku yang tidak berjilbab merasa repot dengan rok spannya. Maklumlah, terlalu banyak gerak, roknya jadi semakin terangkat ke atas. Begitupun jika sedang naik becak. Teman-temanku repot harus menata duduknya, atau harus membawa selembar kain untuk menutupi paha dan betisnya.Aku juga merasa sangat aman dari sengatan sinar matahari, angin dingin atau debu-debu nakal yang suka menempel di rambut. Dan yang paling penting, Jilbab membuat kita semakin dihargai orang.
Seorang sahabatku, lelaki, yang duduk di depanku saat kelas satu SMA mengatakan sesuatu yang membuatku merasa sangat berharga. Ketika itu, ada teman sekelas yang membawa majalah prono bergambar wanita-wanita tanpa busana. Dengan sangat sigap, seluruh penghuni kelas yang berjenis kelamin lelaki berkumpul di pojok kelas menikmati setiap pose wanita-wanita sexy dalam majalah itu. Setelah puas, sahabatku itu kembali ke bangkunya. dan dia berkata “Beruntung banget Sa, Kamu mahal. gak kayak cewek-cewek di majalah itu. Cuman 5000 perak, kita semua bisa lihat body nya. Kalo kamu, hhm….harus bayar peningset dulu, harus ada komitmen dan tanggung jawab seumur hidup, harus janji sama Tuhan dulu…baru bisa lihat bodymu! Mahal banget kan?”

“Hey kak Elsaaa!!!! Udah bener belom nih???” teriak adikku membuyarkan lamunanku.
“Ya…ya sudah bagus”
“Trus kenapa tadi perempuan harus pake jilbab yaa?” tanyanya lagi.
“Karena kamu cantik dan mahal!”
Adikku terbengong-bengong mendengar jawabanku. Aku tertawa saja, meninggalkannya di kamar, membereskan alat peraga belajar memakai jilbab.


ps: buat Iqbal, buku "101 alasan kenapa aku berjilbab" yang kamu hadiahkan ke aku, ikut terbakar. Thanks buat buku itu.

Roses worth 1000 words

What the flowers convey:

Red: "I love you"
Nothing says "I love you" like red roses. Red symbolizes love, beauty, courage, respect, romantic love, and even congratulations.

White: "I am the one for you"
While many send red roses on Valentine's Day, surprise your Valentine this year with white roses that symbolize true love, purity, innocence, reverence, humility, youthfulness, and charm.




Orange/Coral: "I want you in my life" Orange lets the receiver know that you are passionate about them. The color means desire, enthusiasm, and fascination.

Red and White Together:"We are a great match" Send a mixed bouquet of red and white roses to your Valentine to signify unity.

Peach: "Let's make this a memorable Valentine's Day" If you are ready to say, "Let's get together,” peach roses are the ones to choose as the rose color symbolizes intimacy.



Pink: "Thank you" Perfect for a friend that you want to honor on Valentine's Day, pink roses show appreciation, grace, perfect happiness, admiration, gracefulness, and gentleness.


Yellow: "We're friends and I care about you" Another way to honor your friendship, yellow stands for joy, gladness, friendship, delight, new beginnings, welcome back, and remembrance.


Yellow with Red Tip: "I'm falling in love with you" The beautiful sunset roses let that new person in your life know that you want more than friendship—they symbolize falling in love.

yellow rose signifies Joy, Gladness, Friendship, and the Promise of a new beginning. you all know, i really love yellow.

Friday, January 25, 2008

"An Inconvenient Truth" (of kulit salak)


Sudah nonton An Inconvenient Truth”nya Al Gore? Hhm, jadi merasa bersalah gitu ya, sudah bersikap semena-mena terhadap bumi kita tercinta ini.

Tadi ketika buka toko pagi-pagi, pegawe toko sebelah sedang duduk-duduk di halaman tokoku, sambil menunggu toko mereka buka. Kebetulan aku membawa sebungkus salak. Tanpa berpikir panjang, aku berikan salak-salak itu ke mereka. Yah daripada bengong nungguin, ntar ujung-ujungnya ngegosipin mayangsari vs halimah, mendingan makan salak atuh! Kan lebih sehat dan bergizi.

Setelah aku masuk toko, mengecek beberapa hal, aku keluar lagi ke teras toko untuk menyapu, karena sejak subuh tadi hujan lebat. Terasku jadi kotor. Aku melirik para pegawe toko sebelah yang asyik ngerumpi sambil makan salak. Kelihatannya mereka sangat menikmatinya. Dan karena saking nikmatnya.... juga karena lebih kepada budaya yang sudah melekat selama ini, ditambah kurangnya kesadaran akan kebersihan lingkungan, mereka makan salak, mengupas salak dan membuang kulitnya begitu saja, tepat di bawah mereka duduk. Lama aku perhatikan..... sampai lupa menyapu teras. Mereka tetap asyik makan...juga tetap asyik membuang sampah seenak udelnya sendiri-sendiri.

Kapan kita bisa kayak Singapore yang bersihnya bukan main? Atau malaysia yang jadi jauh lebih sophisticated meninggalkan kita yang masih juga primitif....

Kalau saja aku bisa ketemu sama Pak Al Gore, aku mau minta dia supaya bikin film lagi, “An Inconvenient Truth” yang versi indonesia, dengan bahasa indonesia, dengan cara penyampaian sesederhana mungkin sehingga bisa dicerna oleh masyarakat indonesia yang...... pendidikannya tidak cukup tinggi. Seperti misalnya, abah dan ibuku tercinta saja pasti gak bakalan ngerti dengan apa yang disampaikan Pak Al Gore di film itu. So, seandainya saja Pak Al Gore bisa bikin film versi buruh pabrik, versi buta huruf, versi tukang becak, versi pedagang di pasar tradisional, versi wong cilik lah.... alangkah indahnya bumi kita ini.

Sebenarnya yang paling penting, memulainya dari diri kita sendiri. Setelah dipengaruhi Pak Al Gore, Silvy memutuskan untuk tidak menggunakan tissue, dan beralih kepada sapu tangan yang bisa dipakai berkali-kali. Keputusan yang cukup bagus untuk permulaan. Lalu dia tanya, “trus kamu apa?”

Aku jawab “Aku sudah memulai program penangkalan global warming sejak dahulu kala. Bahkan sebelum Al Gore bikin film, bahkan sebelum bumi menjadi panas”

Silvy mulai mencibir. Sadar kalau aku mulai membual.
“Iya kan? Aku ini penentang sejati penggunaan AC untuk rumah!” bukankah itu sungguh mulia? Hehehehehee..... emang bener. Di rumah, semua kamar sudah dipasang AC. Kecuali kamar tidurku. Karena memang aku gak suka pakai AC. Tidak sehat, meski sejuk. Aku lebih suka membuka jendela kamarku lebar-lebar...membiarkan udara bebas keluar masuk.

“yeee....bukan penentang!! Tapi emang gak tahan dingin!” hehehehe...betul juga kata silvy. Emang aku gak tahan dan antipati dingin. Sebisa mungkin menghindar kalau disuruh menginap di malang, sudah kapok kalo disuruh ke bromo lagi. Kalau ibu masih bermimpi pegang salju, aku sudah gak punya mimpi ketemu salju.

Well anyway, insyaAllah selamanya aku penentang AC untuk rumah (tapi tidak untuk mobil, hehehehehe). Sementara cuman itu yang konsisten. Aku belom bisa mengganti tissue dengan sapu tangan, atau mengurangi penggunaan tas kresek. Tapi akan kupikirkan cara lain untuk menunjukkan cintaku pada bumi. Tunggu aja....

Wednesday, January 23, 2008

Bertemu Pagi

aku tidak melihat pagi
juga kilauan embun
gantungi ujung daun
lalu membuatnya berayun

aku tidak bertemu pagi
yang hangat karena mentari
bangkitkan harapan di hati
yang masih mati

aku tidak merasa pagi
toh bulan masih ada
gelap belum jua pergi
dan dingin masih disana

aku kehilangan pagi
tanpa tau kapan bertemu lagi
menghidupkan jiwa yang suri
meski telah berganti hari

Sunday, January 20, 2008

Cinta Sejati Tak Sampai

Aku pernah membaca cerpen di Femina jaman dulu, sudah lama sekali. Sebuah kisah tentang “cinta sejati” merangkap “kasih tak sampai”. Entah kenapa, sampai sekarang cerpen itu masih saja ku ingat meskipun judul dan penulisnya kulupa.

Ceritanya kira-kira begini,
ada seorang tokoh utama, sebut saja Gadis (karena aku lupa nama-nama tokohnya) yang pernah punya perasaan cinta kepada Pemuda. Karena saling suka, mereka sempat dekat. Belum boleh pacaran karena menurut orang tuanya, Gadis masih terlalu kecil. Dan si Pemuda juga masih sekolah. Belum bekerja. Si Pemuda akhirnya harus kuliah ke kota lain,meninggalkan Gadis sendirian di kota asalnya. Bulan-bulan pertama, Gadis masih rutin menerima surat dari Pemuda. Namun lama kelamaan… surat dari Pemuda tak kunjung tiba. Meskipun Gadis sudah menyuratinya beratus-ratus kali.

Tahun pun berlalu. Kini Gadis sudah menjadi wanita dewasa, memiliki pekerjaan yang cukup baik di Jakarta. Dan suatu hari, ibu menelponnya dari rumah, menyampaikan pesan bahwa ada seorang teman lama yang ingin menemui Gadis. Dengan sebuah nomor telpon yang ditinggalkan, Gadis menghubungi teman lamanya.
Seorang wanita, mengaku bernama Istri, meminta Gadis datang ke rumahnya tanpa memberikan alasan yang jelas, hanya dengan sebuah permohonan untuk menyelamatkan jiwa seseorang.

Gadis akhirnya datang ke rumah Istri. Di ruang tamu, Istri menceritakan semua. Bahwa ia adalah istri dari Pemuda, seorang lelaki yang sangat mencintai Gadis. Ia pun menjelaskan, semasa kuliah, Pemuda nge-kost di rumahnya. Kesantunan dan kepandaian Pemuda membuat orang tua Istri jatuh hati dan berniat menjadikan Pemuda sebagai menantu. Sejak itu, surat-surat dari Gadis tidak pernah disampaikan kepada Pemuda. Dan surat-surat Pemuda yang hendak di-poskan, di ambil oleh orang tua Istri agar tidak sampai ke tanga Gadis. Hingga akhirnya Pemuda putus asa, karena merasa surat-suratnya tidak pernah di balas. Akhirnya Pemuda menikah dengan Istri.

Istri masih bercerita, meskipun Pemuda adalah seorang suami yang sangat baik, dan seorang ayah yang jempolan buah hati mereka, namun di dalam hati, Pemuda tidak pernah berhenti mencintai Gadis. Sejak awal istri merasa suaminya mencintai orang lain. Tapi Pemuda selalu bisa meyakinkan, bahwa yang dinikahinya adalah Istri, bukan orang lain. Hingga Pemuda sakit-sakitan dan tak kunjung sembuh bertahun-tahun. Menurut dokter, Pemuda susah sembuh karena tidak memiliki semangat hidup. Sampai akhirnya Istri menemukan kotak kardus Pemuda, yang berisi segalanya tentang Gadis. Surat-surat dari Gadis, foto-foto bersama Gadis, tiket bioskop, nota restoran, dan hal-hal kecil lainnya. Semuanya tentang Gadis. Di dalamnya juga ada sebuah jurnal, tentang isi hati Pemuda. Puisi-puisi tentang kerinduannya kepada Gadis, pemikirannya tentang bagaimana seorang perempuan dan istri dengan Gadis sebagai ukurannya, dan impian-impiannya jaman dahulu.

Gadis sangat kaget mendengar cerita Istri. Ia sama sekali tidak menyangka, Pemuda masih mencitainya sedemikian rupa.
Istri juga menjelaskan, tujuannya memanggil Gadis kesini, agar Pemuda dapat berjumpa dengan Gadis sehingga memiliki semangat hidup lagi. Istri melakukan ini dengan alasan karena mencintai suaminya. Sebagai istri, ia menginginkan yang terbaik bagi suami. Dan jika yang terbaik adalah Gadis, Istri sanggup dan bersedia mundur.
Gadis tidak bisa berkata apa-apa, selain bersedia menemui Pemuda yang telah lama tergolek lemah di tempat tidur.

Melihat Gadis telah di hadapannya, wajah Pemuda yang sebelumnya tampak layu mendadak berbinar-binar. Pemuda duduk di tempat tidurnya dan memegang tangan Gadis. Istri meninggalkan mereka berdua berbicara selama berjam-jam. Dari kejauhan, Istri sangat bahagia melihat wajah Pemuda yang sangat bersemangat seolah-olah tidak pernah mengalami sakit bertahun-tahun. Segala rasa iri dan cemburu sebagai wanita terkalahkan oleh rasa bahagia melihat suaminya “sembuh”.

Malam tiba, Gadis pun pamit pulang, tak lupa berjanji esok atau lusa akan menjenguk Pemuda lagi. Dalam perjalanan pulang, Gadis masih juga mencerna peristiwa tersebut. Ia memang pernah sangat mencintai Pemuda. Namun sejak kehilangan Pemuda, Gadis berusaha melupakannya. Kini Gadis telah memiliki seorang tunangan yang baik, meskipun tidak setampan Pemuda. Lagipula Pemuda juga telah memiliki Istri yang teramat sangat mencintainya. Gadis tidak tahu,apakah ia harus menyesal atau tidak dengan apa yang terjadi padanya dan pada Pemuda.
Sementara itu, keesokan harinya, Istri mendapati Pemuda telah tak bernyawa. Namun sebuah senyum masih tampak di wajahnya yang bercahaya.

Sebenarnya mirip dengan Kuch-Kuch Hota Hai. Rahul dan Anjali bersahabat sejak lama. Meski mereka saling mencintai, mereka tidak pernah menyadari hal itu. Sampai akhirnya datang Tina, yang membuat rahul terpesona. Anjali yang telah sadar bahwa dirinya mencintai Rahul, mendapati sahabatnya itu sedang terlena oleh Tina. Rahul meminang Tina, dan Anjali pergi dari kehidupan mereka. Meski telah menikah,Tina merasa Rahul tetap mencintai Anjali,disadari atau tidak. Dan ketika Tina harus bersiap-siap menghadapi kematian, Tina menyiapkan anaknya untuk mengembalikan Anjali kepada Rahul.

Hhm... entah kenapa aku suka dengan dua kisah itu. Apa karena keduanya tidak memiliki tokoh antagonis, atau sebuah mimpi tentang cinta sejati semacam itu yang mengena di pikiranku. Tidak tahu pasti. Yang jelas, aku mengagumi keikhlasan Istri dan keikhlasan Tina. Terlebih-lebih pada Istri, yang tampak jelas mencintai suaminya sepenuh hati. Jujur saja, aku rasa aku tidak akan mampu mencontoh mereka.

Friday, January 18, 2008

Daftar Isi YellowLife




Widget By: [Diary-Osi]