Monday, November 10, 2025

CGK, Malam Itu


Aku tak menyangka, hari ini aku bertemu lagi dengan orang itu. Di sini. 

Di Jakarta.

Aku tak pernah menyukainya. Jakarta maksudku. Sejak dulu hingga nanti. Entah karena terlalu crowded, terlalu macet, terlalu tinggi polusi udaranya, terlalu buang buang waktu kalo mau kemana mana, atau terlalu overrated semuanya. aah, atau juga karena orang orangnya yang "rasis". Ya, rasis. kamu gak salah baca. Tahu kan, kalo orang jakarta menyebut kota selain jakarta adalah daerah. Bagiku, itu terkesan merendahkan. Ya, tidak semua orang jakarta merendahkah orang selain jakarta, aku tahu itu. Tapi jangan salahkan aku jika punya penilaian seperti itu pada orang jakarta, karena tak sedikit orang jakarta yang kutemui dan ku kenal, rata rata yaa begitu. Merasa dirinya lebih tinggi dibanding orang selain jakarta. Kita bisa ngobrol soal betapa aku tidak menyukai jakarta selama berjam-jam, tapi buat apa? bukankah ngobrol tentang sesuatu yang tidak kita sukai, bisa bikin bad mood berkepanjangan, buntutnya bikin sakit kepala berhari hari. 

Orang bilang Jakata is the city of hope, karena di sanalah mereka berharap bisa merubah nasib, bisa menaklukkan jakarta, mewujudkan mimpi, meraih kesuksesan.. well, i'm not one of them. Jakarta is too painful.

Meskipun aku tidak pernah menyukainya, tapi masih butuh banget sama Jakarta. Setidaknya selama lebih dari 15 tahun ini aku selalu ke jakarta minimal sekali dalam setahun. Bussiness, not pleasure. Kadang juga sempat berpikir, kapan ya bisa ke jakarta for pleasure, yang santai, yang gak usah ngurusi kerjaan, yang gak sibuk dan gak terburu buru dikejar waktu. Kapan ya bisa belajar menikmati jakarta.'

Aku baru bisa menikmati jakarta di detik detik terakhir seperti saat ini. Malam malam duduk di kursi tunggu bandara, menunggu pesawat terakhir untuk pulang. Membayangkan tempat yang aku sebut rumah. Sialnya, sosok orang itu kini membuyarkan semua hal yang sedang aku bayangkan. Pertanyaannya adalah, kenapa baru sekarang Ya Tuhan? 

15 tahun yang lalu, tiap berangkat ke Jakarta, aku selalu berdoa, agar Tuhan mengatur sebuah pertemuan tak terduga dengan orang itu. Aku berharap sangat, bisa bertemu dengannya di bandara, di stasiun, di  mall, di tebet eco park, di PRJ, atau tempat tempat random lainnya. Tapi tampaknya Tuhan tidak mengabulkan harapanku. hingga akhirnya aku lelah berharap, dan mulai belajar melupakannya. Aku sadar betul, Tuhan Maha Mendengar, juga Maha Mengabulkan Doa. Tapi dalam merespon setiap doa umatnya, Tuhan punya 3 tombol pilihan ganda:

A. Ya, Kun Fayakun, Cling !

B. Ya, but not now. you're not ready yet. 

C. Nope, I have a better plan for you. 

Jika memang benar, ketika dulu aku berdoa, Tuhan memilih yang B, berarti apakah menurut Tuhan aku sudah cukup siap untuk bertemu dengan orang itu lagi sekarang? Setelah lebih dari 20 tahun berpisah ? Setelah rindu itu mengendap terlalu lama dan lama lama menguap dengan sendirinya ?

Aku sungguh tak percaya apa yang kulihat dari kejauhan. aku masih bisa mengenalinya. Punggungnya, cara jalannya, gaya berpakaianya, semuanya. Seketika itu terdengar suaranya di telingaku, jelas sekali. 

"Someday, I'll take you to Singapore" 

"Kenapa Singapore? kenapa bukan Makkah dan Madinah?" tanyaku. 

"Hahaha.. itu next trip after Singapore ya Sayang"

"Okay.. tapi kenapa Singapore?"

"Di sana ada sebuah jalan yang pake nama bapakku" katanya bangga. Lalu dia bercerita tentang jalan itu. Sebuah jalan elit di Singapore, tempat rumah-rumah paling mahal dan bergengsi. Konon ada crazy rich indonesia yang baru saja beli rumah di jalan itu, seharga 2,3 triliun rupiah. Dulu kawasan itu adalah daerah berhutan yang rimbun, lalu pemerintah Kolonial Inggris mulai membangun rumah rumah mewah di situ. Kemudian sepeninggal inggris, properti mewah beralih tangan ke saudagar-saudagar lokal yang kaya raya. Anggota kerajaan Brunei dan Malaysia pun punya rumah di kawasan itu. 

Dulu semasa kuliah di sana, dia sempat menyombongkan diri ke teman-temanya. Yaa karena ada nama bapaknya terpampang sebagai nama jalan bergengsi. Tak satupun nama bapak teman-temannya memiliki keberuntungan yang sama. 

Senyumnya membawa rasa bangga yang dalam untuk Sang Bapak, matanya berbinar saat bercerita panjang lebar pengalamannya kuliah di Singapore. Aku terus mendengarkannya, tentu saja sambil menikmati senyumnya dihadapanku. 

Bodohnya, sejak saat itu aku bermimpi ke Singapore bersamanya. Menemaninya bernostalgia masa kuliahnya dulu, lalu jalan-jalan di jalan dengan nama bapaknya, melihat-lihat hunian mewah disana sambil berdoa agar suatu saat Tuhan memampukan kita jadi pemilik satu atau dua atau tiga rumah di situ. 

Pernah dengar ungkapan yang sangat populer kan? Manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Ungkapan ini mungkin naturalisasi dari  bahasa arab الْإِنْسَانُ يُفَكِّرُ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ 

Mau bikin rencana seindah dan sedetail mungkin, dipersiapkan segala sesuatunya, tapi jika Tuhan berkehendak lain, mau gimana? Nyesek awalnya, tapi begitu sadar bahwa God always gives you much much more than you ask for, dan mulai bisa berpikir jernih, yang ada malah makin bersyukur dengan ketentuan-ketentuan Tuhan. Seolah-olah Tuhan berkata "Ngapain ke Singapore harus nunggu diajak dia? Kamu bisa kok kesana sendiri"

Dan benar saja. Tuhan memberiku kesempatan berkali kali ke Singapore. Tanpa harus menunggunya.  Tapi lucunya, tiap kali menginjakkan kaki di Changi, Aku selalu teringat dia. Pernah satu kesempatan, aku sengaja mencari jalan itu. Berfoto di bawah papan nama jalan, dan begitu inginnya berteriak, "Heeey, I'm here ! Where are you?"

You said,
You wanted to take me there.
 


***

#cumacerpen
#fiksi
#belajarnulis
#lagigabut

No comments:

Post a Comment

jangan lupa baca Basmalah sebelum komen...
"Bismillahirrahmanirrahiiiiiiim......"

and please, ANONYMOUS is not allowed.