Aku sedang menikmati Jogja saat itu, bersama sahabatku Dewi, saat aku merasa ada yang janggal di dadaku sebelah kiri. Tiga benjolan tak lebih besar dari telur puyuh, rasanya cukup nyeri. Tentu saja aku panik, jangan jangan ini tumor payudara? Jangan jangan ini kanker payudara? Duuuh, membayangkannya saja sudah sangat menakutkan.
Tentu saja Dewi, sahabatku sejak SMA ini langsung sadar ada yang tidak beres ketika melihat air mukaku berubah. Tapi aku tidak bercerita, karena kami masih punya satu hari lagi di Jogja. Its vacation time, jadi harus benar benar dinikmati meskipun ada sesuatu yang membuatnya terasa kurang nyaman, tapi malamnya kami masih sempat nonton di Plaza Ambarukmo. Liburan hari itu terasa sangat menyenangkan dan Alhamdulillah kami menikmati Saturday Night in Yogyakarta yang sungguh indah. Sampai akhirnya ketika menjelang pulang ke Jawa Timur, di stasiun sambil menunggu kereta, aku pun menceritakan kegelisahanku. Tentu saja Dewi membesarkan hatiku, mengatakan hal hal klise yang meskipun aku tahu itu klise, tapi somehow cukup menenangkanku. "Semua akan baik baik saja..."
|
Bersama Dewi, nonton di Ambarukmo Plaza Yogyakarta |
Aku ingat betul, sepanjang perjalanan di kereta, kami sibuk mencari informasi tentang kanker payudara di internet. Hampir semua sumber menyatakan, bahwa tumor ataupun kanker payudara bersifat genetis. Artinya, jika kita punya Nenek dan Ibu yang terserang kanker, maka sagat BESAR kemungkinannya kita juga akan bernasib serupa. Aku langsung ingat, Kakakku dulu juga pernah terserang tumor payudara, Alhamdulillah tumor jinak, yang setelah dilakukan operasi, dokter menyatakan bersih. Jika kakak mengalaminya, berarti aku juga punya "kemungkinan" itu. Sayang Kakakku sudah tiada, aku tak bisa lagi bertanya dan berkeluh kesah tentang hal ini. Tapi aku masih punya satu sahabat yang juga pernah mengalaminya, Ika namanya.
Rasanya seperti masih kemarin, ketika aku dan Merry ikut melepaskan Ika ke kamar operasi, menungguinya hingga selesai di Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya. Kami bertiga masih kuliah saat itu. Saking dekatnya atau entah saking konyolnya (mungkin kata yang terakhir jauh lebih tepat), kami bertiga menamai diri sebagai PowerPuff Girl, mencomot tokoh animasi produksi Nickleodeon. So silly huh?
Ika juga pernah menderita tumor payudara kala itu. Operasi pengangkatan tumor sudah sukses dilakukan, tapi tentu saja secara berkala ia tetap menjalani wajib lapor ke dokter untuk mengecek perkembangan kesehatan payudaranya. Sebagai orang yang sudah berpengalaman menghadapi hal semacam itu, aku segera menelponnya, menceritakan masalahku. Lama sekali kami bicara di ponsel, Ika menceritakan segala prosedurnya, dan aku banyak sekali bertanya hal hal kecil mendetail. Dia berusaha membesarkan hatiku, tapi jujur saja, aku semakin diserang ketakutan.
Setelah bicara dengan Ika, aku juga segera menelpon personel PowerPuff Girl lainnya, Merry. Aku mulai bercerita tentang benjolan dan sakit yang kurasakan. Segala ketakutanku, dan kekhawatiranku berkenaan dengan dokter laki laki atau perempuan yang akan aku hadapi juga aku sampaikan. Sahabatku ini sangat sangat mengerti keinginanku untuk segera menemukan dokter perempuan yang tepat. Merry dengan sangat sigap segera bertindak. Malam itu juga, ketika aku masih di duduk di bangku kereta, Merry sudah mencari segala informasi yang dibutuhkan. Dan sekitar satu jam kemudian, Merry melaporkan, "Aku sudah menemukan dokter perempuan untukmu, di RS Onkologi Surabaya. Besok sepagi mungkin aku akan membuat janji dengannya, atas namamu. Tetap tenang, jangan lama lama nangisnya ya"
RS Onkologi Surabaya kini terletak di Araya Galaxy Bumi Permai blok A2 nomor 7 Surabaya. Aku ingat dulu kakakku juga menjalani operasi pengangkatan tumor juga di RS Onkologi, tapi waktu itu RS Onkologi masih beralamatkan di Jalan Bawean. Kini RS Onkologi Surabaya sudah memiliki gedung sendiri yang jauuh lebih megah, dan pastinya lebih nyaman. RS Onkologi adalah rumah sakit yang memberikan layanan kesehatan khusus pada masalah kanker. Tidak hanya pada kanker payudara, tetapi juga meliputi beberapa jenis kanker lainnya.
Keesokan harinya, aku memulai hari dengan gelisah. Sekitar pukul 8, Merry sudah memberi kabar. "Sa, Aku sudah bikin janji untuk hari kamis jam 11 siang. Aku juga sudah calling Ika untuk gabung. Nanti aku sama Ika temani kamu ke RS Onkologi. Kamu siap kan? Kita hadapi bertiga"
Oh God, sudah hampir 10 tahun berlalu, sejak kami sama sama di wisuda dari kampus yang sama, tapi dua sahabatku di Surabaya itu tetap bisa menjadi saudara perempuan yang bisa diandalkan.
|
Merry-Elsa-Ika masih kuliah beribu ribu tahun yang lampau |
Dua hari kemudian, hari kamis pun tiba. Pagi pagi sekali aku meluncur ke Surabaya. Merry menjemputku di satu tempat, lalu kami berdua ke RS Onkologi. Di sana Ika sudah menunggu. Dua sahabatku ini terpaksa harus ijin dari tempat kerjanya masing masing demi untuk menemaniku bertemu dokter. Aku gugup bukan main. Merry sibuk mengurusi adminitrasinya, sementara Ika berusaha menghiburku dengan menceritakan hal hal baik berkaitan dengan prosedur yang akan kujalani. Kami bertiga pun akhirnya larut dalam nostalgia masa kuliah, sambil menikmati sofa empuk di ruang tunggu, menunggu giliranku masuk ke ruang periksa. Bercanda bersama mereka berdua bisa mengurangi keteganganku.
Dewi menelpon menanyakan hasilnya sesaat sebelum aku dipanggil perawat. Aku pun meminta Dewi untuk bersabar, karena aku baru akan diperiksa. Ika dan Merry menemaniku masuk ke ruang dokter, dan di sana aku senang sekali bertemu seorang dokter perempuan yang cantik dan lembut sekali, dr Dwirani R Pratiwi namanya. Kami bicara panjang lebar, beliau juga menjelaskan banyak hal tentang kanker payudara, penyebab, gejala dan lain sebagainya. Kemudian untuk observasi lebih lanjut, aku harus menjalani USG di ruang yang berbeda. Kali ini aku harus masuk sendiri, takut sih pada asalnya. Tapi lagi lagi aku bertemu dengan seorang radiologist perempuan yang cantik dan lembut, yang bisa menenangkanku.
Langkah selanjutnya adalah menunggu hasilnya. Kami bertiga kembali duduk di ruang tunggu, bercanda dan bercerita, menggosip dan menggombal, apapun itu untuk melenyapkan segala kegugupan atas hasil pemeriksaan nanti. Sementara itu, Dewi yang juga concern akan keadaanku berkali kali mengirimkan pesan, menanyakan hasilnya dan memberiku semangat.
Kami bertiga benar benar terlibat sebuah becandaan seru di ruang tunggu itu, tapi deep inside... saat saat menunggu di sana merupakan saat saat yang sangat mendebarkan. Ini berkaitan dengan hidupku selanjutnya, siapa yang tak berdebar?
Hingga akhirnya seorang perawat memanggil namaku, dan mempersilakanku masuk menemui dokter. Aku menggandeng tangan Merry, dan Merry mempererat genggamannya. Ika menepuk bahuku sambil berjalan di belakang kami berdua. Sesaat kemudian kami bertiga duduk menghadap dokter, dan Bu Dokter yang cantik menangkap keteganganku. Aku tak bisa bicara, begitupun dengan Merry. Ika yang akhirnya mengawali pertanyaan, "Bagaimana dok?"
Bu Dokter yang cantik itu tersenyum, ia berkata "Alhamdulillah..."
entah kenapa, tepat saat itu rasanya ada sebuah batu sebesar jabal uhud yang tadinya ada di bahuku terasa terangkat dengan sendirinya. Bu Dokter cantik belum meneruskan kalimatnya, tapi mendengar kata Alhamdulillah, aku mengartikannya sebagai sebuah vonis yang menggembirakan, yang membebaskan.
"Ini cuma pembengkakan biasa, bisa karena hormon, atau ...."
"Bukan tumor atau kanker?" tanyaku memotong penjelasannya. Aku benar benar butuh diyakinkan lebih yakin lagi, seyakin yakinnya.
"Bukan" katanya tegas, tetap sambil tersenyum, tampaknya beliau sangat paham pasiennya yang ini teramat sangat ketakutan. Dan alhamdulillah, jawaban Bu Dokter cantik bisa membuatku kembali bernafas, yang tadinya serasa hendak menghadapi algojo untuk hukuman mati, kini seolah olah seorang algojo menakutkan yang besar dan kekar berkata padaku "You are free to go".
Alhamdulillaaaahhh.....
Kami berpisah tak lama kemudian, Ika dan Merry harus kembali ke kantornya masing masing. Sebelum berpisah, tiga personel powerpuff girls yang konyol ini berpelukan. Aku katakan pada mereka, terima kasih. Cuma terima kasih, tapi aku yakin mereka tahu maknanya jauh lebih besar dari yang diucapkan. Aku sangat bersyukur atas semuanya, termasuk bersyukur punya powerpuff girls yang selalu powerfull selalu siap diandalkan kapan saja.
|
Powerpuff Girls (versi konyol) yang sudah pada tua. Ika paling kiri, Merry di tengah. |
Aku menatap mereka pergi menjauh, sambil mengambil ponselku. Ternyata ada 5 pesan dari Dewi, dan 6 panggilan tak terjawab dari nomor yang sama. Aku segera menelpon Dewi balik, dan langsung mengatakan "I'm free Wi ... I'm free"
Dan aku mendengar dengan jelas di ponsel, sahabatku yang tinggal di Kediri itu berteriak kegirangan "Alhamdulillaaaaaaaaaaaaaaaaahhhh"
dedicated to My Powerpuff Girls; Ika and Merry
also to Dewi, my partner in crime and craziness