Kontes Menulis: Ketika Anakku Sakit
Seorang teman pernah bercerita. Ketika masih melajang, dia paling sebal jika mendapati teman sekantor atau bawahannya ijin tidak masuk kerja lantaran anaknya sedang sakit. "Anak sakit aja sampai mengorbankan kerjaan kantor yang sedemikian penting!" begitu keluhannya. Pendapat itu langsung berubah tatkala dia menikah dan punya bayi. Ketika sang bayi mendadak sakit, meskipun cuma demam biasa... temanku tadi bahkan mengambil cuti beberapa hari demi menemani sang buah hati. Hahahahaa.....
Anak memang mampu merubah segalanya.bahkan jika sang anak bukanlah anak kandung kita...
Seperti aku dan
Dija.
Aku sama sekali tidak berpengalaman menjadi Ibu. Mana kutahu soal imunisasi, mana kutahu soal pentingnya ASI atau susu formula yang baik, mana kutahu soal popok dan bedak bayi... mana kutahu soal kesehatan dan penyakit yang kerap mengancam kesehatan bayi....
Sampai akhirnya
Dija terserang DIARE.
Dija lahir
23 Maret 2010 dengan berat badan 1800gram. Akhir Mei 2010 beratnya sudah mencapai 5000gram. Sungguh prestasi yang membanggakan mengingat berat ketika lahir jauh di bawah rata rata. Akhir Juli beratnya sudah 6300gram. Siapa yang tidak gembira melihat berat badannya yang terus naik...
Baru kemudian tanggal
1 Agustus 2010, Dija mulai diare. BAB nya berair sekali... warnanya lain dari biasanya.
2 Agustus 2010. Ada ruam di pantat Dija, padahal aku merasa tidak pernah malas mengganti popoknya, tidak pernah meninggalkan popok lembab berlama lama. Diarenya bertambah parah, BAB bisa 5-6 kali... Kami mulai panik, meskipun Dija kelihatan baik baik saja, tetap ceria dan aktif. Tidak rewel atau semacamnya.
3 Agustus 2010, berat Dija 6400gram, kami bawa Dija ke dokter, karena khawatir diarenya terus berlanjut semakin parah. Sialnya, dokter spesialis anak yang menangani Dija sejak lahir sedang pergi ke Amerika untuk konfrensi. Dan posisinya digantikan oleh seorang dokter anak lain... yang tak kukenal. Tapi aku pikir, well... penggantinya pasti bagus juga, gak mungkin kan si dokter itu mencari pengganti yang gak bagus...
Dokter pengganti memeriksa pantat Dija dan menemukan ruam disana. Dia langsung memarahiku... "Ibu jangan males ganti popoknya yaa... beginilah jadinya. kasihan bayinya nih, ruam begini ini sakit!" duuuuh, menyebalkan sekali dokter itu... aku mau membela diri, tapi takut nanti amarahku yang keluar. akhirnya aku diam saja.
Oleh dokter pengganti, Dija diberi salep untuk mengobati ruam di pantatnya, obat untuk mengentalkan BABnya dan antibiotik. Susunya Dija juga diganti dengan susu formula khusus bayi diare.
(di sinilah awal kebodohanku dimulai.. aku menuruti semua anjuran dokter itu.)
Setelah beberapa hari, Dija memang tidak diare. BABnya normal.
tapi ternyata itu tidak bertahan lama. Dija kembali Diare. dan ruam itu muncul kembali di pantat Dija dengan indahnya...
12 Agustus 2010, kami ke dokter lagi. Alhamdulillah dokternya Dija sudah balik ke indonesia. Berat Dija 6350gram. turun sedikit... padahal kami sempat ketar ketir. takut beratnya turun banyak, mengingat Dija diare hebat, susah minum susu.
Dokter kemudian memerika Dija, dan dia menemukan pantat Dija yang dihiasi ruam. aku sudah pasang kuda-kuda. Kalau dokter ini juga memarahiku, aku akan memarahinya balik!! tapi jawabannya sungguh menenangkan sekaligus menyedihkan. "Ruam di pantatnya ini artinya ada indikasi BAB nya mengandung laktosa. karena laktosa itu sifatnya "memakan" daging di pantat seperti ini.. jadilah ruam"
aku cuma melongo mendengarkannya... Ha? Apa? laktosa memakan daging?
meskipun aku gak ngerti, tapi setidaknya dokter ini tidak menyalahkanku seperti dokter pengganti itu.
buntutnya... karena laktosanya ikut terbuang saat diare... Dokter memperkirakan Dija alergi cowmilk. dan sejak itu, Dija mengkonsumsi susu kedelai yang tidak mengandung laktosa.
Dokter ini juga berusaha menghibur kami yang panik. "Selama si bayi masih mau minum susu, masih aktif bergerak, orang tua tidak usah khawatir"
yah... dalam hati aku ingin menjawab "Enak kalo ngomong aja, ini kan pertama kali buatku. anak sakit, siapa yang gak panik dan takut?"
Setelah itu Dija agak sembuh diarenya. Dija juga mengalami kesulitan beradaptasi minum susu kedelai yang aneh rasanya itu...
tapi kemudian Dija diare lagi. duuuuuh.... aku panik lagi.... meskipun Dija masih tetap ceria dan sama sekali tidak lemas.
18 Agustus 2010. Aku bawa Dija ke dokter lagi karena diare lagi tanpa ada ruam.
Berat Dija 6510gram. Alhamdulillaaaaaaaaaah......
Dokter kembali memberikan oralit, dan obat. serta ultimatum: jika diarenya tidak berhenti dalam seminggu ini, harus periksa ke lab untuk mengetahui ada virus atau tidak. Jika ada virus, maka penanganannya akan berbeda.
Alhamdulillah tidak butuh waktu lebih dari seminggu... Dija sudah sembuh, BABnya normal kembali.
Sebulan kemudian kami coba memberikan cowmilk pada Dija, dan alhamdulillah lagi, kondisinya baik baik saja.
Rupanya, begini rasanya saat anak kita sakit. sedihnya luar biasa, kalutnya bukan main, dan panik setiap saat. semua rasa yang siapapun pasti berharap tidak akan pernah mengalaminya lagi...
Pengalaman menghadapi diare untuk pertama kalinya itu aku anggap sebagai sebuah kebodohan yang luar biasa besar. Kenapa? Mari cari tahu langkah
PINTAR menghadapi diare.
1.
Diare pada anak sebenarnya hal yang wajar, tidak perlu panik karena merupakan salah satu cara tubuh untuk mengeluarkan racun. Jika proses ini disumbat, maka racun/kotorannya akan balik lagi, dan mengendap lebih lama di usus.
dan apapun penyebab diare, umumnya tidak perlu obat kecuali oralit.
Nah, betapa aku menyesali kebodohanku... membiarkan Dija mengkonsumsi obat dan antibiotik yang seharusnya SAMA SEKALI tidak perlu.
2.
Saat anak diare, selama dia masih aktif, mau minum susu/makan, dan tidak ada tanda tanda dehidrasi, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Memang anak yang sedang sakit, nafsu makannya berkurang, tapi orang tua harus tetap berusaha memasukkan cairan/makanan meskipun tidak usah memaksa.
3.
Susu juga tidak perlu diencerkan, karena susu yang diencerkan membuat anak kehilangan kalori. padahal pada saat diare, anak sangat butuh kalori untuk penyembuhannya. Susu juga tidak usah diganti dengan yang rendah laktosa. hal ini mengingat kalau anak diare, maka cairan yang paling bagus sebenarnya adalah ASI. dan ASI merupakan cairan yang sangat tinggi kandungan laktosanya.
Nah lho... ngapain aku ganti susunya Dija pake susu kedelai?
padahal kalaupun anak alergi susu sapi, solusinya bukan susu kedelai karena umumnya anak yang alergi susu sapi biasanya juga alergi pada protein kacang kedelai. Susu kedelai hanya untuk anak dengan kelainan bawaan lahir dimana tubuhnya tidak bisa mengolah laktosa karena kekurangan enzim latase.
Tuh kan.... duh, betapa bodohnya aku!!
4. Sekali lagi,
JAGA KEBERSIHAN segala hal, termasuk
cuci tangan dengan benar. karena hal ini bisa membatasi penyebaran penyakit.
Itulah pengalamanku menghadapi diare dengan kebodohan. semoga kebodohanku tdak berulang, dan tidak terjadi pada ibu-ibu yang lain. Yuk kita sama sama belajar sebanyak mungkin dari internet, ngeblog yang bermanfaat... mencari tahu soal kesehatan demi anak-anak kita.