Beberapa hari sebelum natal 2008, Mrs D datang ke toko menemui ibuku untuk meminta bantuan. Mrs D adalah seorang wanita berusia 60-an, seorang pengurus gereja dan juga merupakan pelanggan setia toko mebel kami sejak lama. Seingat ibuku, semua perabotan di rumah Mrs D, dibeli di toko kami. Begitupula beberapa perlengkapan gerejanya.
Setahun yang lalu, Mrs D melapisi seluruh permukaan lantai gereja dengan karpet yang dibeli di toko kami. Dan kini, tampaknya karpet tersebut semakin kotor. Mrs D bertanya pada ibuku, bagaimana cara membersihkan karpet-karpet tersebut. Ibuku dengan senang hati bersedia menolongnya. Maka dibuatlah janji, kapan ibuku bisa ke gereja untuk menunjukkan cara membersihkan karpet, dan meminjamkan vacuum celanernya. Mereka pun sepakat, besok.
Esoknya, ternyata toko kami begitu ramai dipadati pembeli. Seluruh pegawai kami sibuk melayani pembelinya masing-masing. Ibu bingung karena sudah terlanjur punya janji dengan Mrs D. akhirnya ada satu pegawai kami yang tampaknya sudah selesai melayani pembeli, tanpa berpikir panjang Ibu langsung mengajaknya pergi.
Namanya Hadi, pegawai kami ini masih tergolong muda. Mungkin usianya baru menginjak awal 20-an. Dia sangat santun dan selalu terlihat tulus jika mendapatkan tugas, tidak pernah menolak apalagi membantah. Diantara pegawai-pegawai yang lain, Hadilah yang terkenal paling agamis, karena itu dia dipanggil dengan julukan “ustad”. Sholat nya sangat rajin, dan kerap berpuasa sunnah.
Ketika Ibu mengajaknya pergi, Hadi tidak menolak sama sekali. Juga tidak bertanya apapun. Langsung pergi mengikuti ibu.
Dan ternyata, Ibu mengajaknya pergi ke gereja. Sesampainya di sana, Ibu langsung meminta Hadi mengajarkan cara mengoperasikan vacuum cleanernya kepada para pengurus gereja. Sementara ibu mengajari Mrs D cara menghilangkan noda pada karpet.
Ini baru pertama kali dalam seumur hidupnya, Hadi memasuki gereja. Hatinya sungguh berkecamuk. Tangannya gemetar dan berkeringat dingin. Apalagi Ibu memberinya tugas membersihkan gereja. “Astaghfirullah, aku ini jarang membersihkan masjid, kok sekarang malah harus membersihkan gereja?” batinnya. Hatinya ingin menolak pekerjaan ini, tapi sebagai pegawai yang baik, ia tidak bisa menolak.
Semakin lama, Hadi semakin merasa tersiksa. Jantungnya berdegup semakin kencang. Tangan dan kakinya semakin gemetar…. Ia tak bisa menahan lebih lama lagi. “Aku tidak kuat!” pikirnya. Hadi melihat kiri kanannya. Tak seorang pun memperhatikannya. Ia pun memutuskan untuk pergi. Meninggalkan gereja begitu saja, meninggalkan vacuum cleanernya, meninggalkan ibu.
Berjalan kaki, dengan pikiran kalut dan rasa bersalah yang teramat sangat, dia kembali pulang ke toko. Sesampainya di toko, dia langsung pergi ke belakang, ke kamarnya. Dan berusaha mendamaikan tubuh, pikiran dan hatinya. Pegawai-pegawai yang lain bingung melihat Hadi saat itu. Sudah tahu toko sedang ramai, kok malah ngeloyor pergi.
Baru 5 menit tiduran, Hadi memutuskan untuk pulang ke kampungnya. Ia beranjak dari tempat tidurnya, pamit ke Abah dan pamit ke pegawai-pegawai yang lain dengan alasan sakit.
Sementara, Ibu yang sudah selesai memberi pelajaran kepada Mrs D, hendak pamit pulang. Ketika akan mengajak Hadi pulang, Ibu kebingungan karena Hadi sudah tidak ada. Kata beberapa pengurus gereja, Hadi terlihat pergi begitu saja, tanpa pamit. Setelah memohon maaf, Ibu pun pulang. Vacuum cleanernya sengaja di tinggal di gereja agar para pengurus gereja bisa meneruskan sendiri pekerjaan membersihkan karpet tadi.
sesampainya di toko, ibu mencari Hadi dan mendapati kenyataan bahwa Hadi sudah pamit pulang kampung dalam keadaan sakit. Tangannya gemetar, badannya demam, wajahnya pucat dan gugup nya minta ampun. Ibu pun langsung tahu, bahwa memilih Hadi untuk membantunya di gereja tadi merupakan sebuah langkah yang sangat salah. Ibu menyesal, kenapa tadi langsung “comot” saja, ketika mengajak Hadi. Kenapa tidak mengajak pegawai yang lain, yang tidak terlalu “kuat iman” nya. Kami pun tidak pernah menduga, kalau Hadi langsung sakit ketika diajak membersihkan gereja.
Hhm….
Aku melihat 2 hal yang berbeda dari cerita ini.
Di satu sisi, aku mengagumi kepribadian Hadi, bagaimana ia menolak membersihkan rumah ibadah umat beragama lain dengan segenap tubuh, pikiran dan hatinya. Habluminallah nya tinggi sekali.
Di sisi lain, aku mempertanyakan jiwa sosialnya. Dimana habluminannas nya ya?
Waduh, kasihan, sampai betul2 shock begitu? Dan sekarang ga kembali lagi bekerja?
ReplyDeletedia pulang kampung menenangkan diri. seminggu kemudian, baru balik kerja.
ReplyDeletehhm...
aku pikir,
kasihan juga ya sama orang yang seperti itu. kurang punya jiwa sosial, berbagi dengan sesama meskipun tidak seagama....
nah pertanyaannya apa yang selalu dipenetrasikan oleh guru2nya. Menurutku hadi belum menjelajah wacana lain tentang humanisme, relasi sosial lintas keyakinan dan nilai baik pluralisme. Tapi pada dasarnya Hadi orang baik dan mau berpkir lebih baik. semoga
ReplyDeletetabiek
senoaji
mama elsa... morning2
saya rasa kebersamaan bukan karena serba sama tetapi karena adanya perbedaan ....
ReplyDeletecerita indah .....
contoh bagus untuk direnungkan mba :)
ReplyDeleteom seno ...
ReplyDeleteNah pertanyaannya apa yang selalu dipenetrasikan oleh guru2nya ??
uh ada pihak yg salah ni??
wacana lain tentang humanisme, relasi sosial lintas keyakinan dan nilai baik pluralisme ... kayak gimana si???
boleh minta tau om?? .....
mnurutku ... Kadang pemahaman, pengetahuan, tiap orang berbeda-beda, ... pada tataran tertentu kita harus memaklumi-nya ...
So ...Gak semua tidak terbatas, ... dan Gak semua terbatas ... semua ada Rules Of Game-nya ... kadang ada yang paham, ada yang skedar tau, ada orang yg ga tau, .. ada yg sok tau ...ada orang yang gak mau tau ...
he he he .... opo maning iki ...
Wedew, dalem banget nih ceritanya. Pasti Hadi telah belajar banyak dari pengalaman spiritualnya ini
ReplyDeletesetuju dengan pertanyaanmu elsa... aku juga mempertanyakan itu.
ReplyDeletewaduh...berat nih...
ReplyDeletedulu di tempat kerja yg lama sempet ada kecemasan,
kebetulan prusahaan (ini masih sidoarjo...hehehehe) lagi ngrejain order desain interior sebuah gereja...
bener2 bikin was2...takut klo saya yg ngerjain...
waktu itu saya beranggapan, klo saya ikut bantu nge-desain, berarti saya ikut membantu pelaksanaan ajaran agama lain yag tidak sejalan dg apa yg saya yakini...
dan saya masih beranggapan seperti itu sampe sekarang...mungkin sisi humanisme saya perlu dipertanyakan...hehehe...
sekarang, saya banyak nge-desain hal2 yang berhubungan ama dunia glamour, hedon, saya baru bisa ber-istihgfar...blom brani ngambil langkah kayak si Hadi...
wallahu'alam....
Agama kan masalah keyakinan, wajar aja sih.
ReplyDeleteElsa.. apakabar?
ReplyDeleteMau ikutan komen...
Sudah benar yg dilakukan Hadi.. krn dia punya pemikiran.. membersihkan Masjid aja jarang.. kenapa sekarang dia harus membersihkan gereja... saya justru salut dg Hadi.. secara fisik dia ingin Habluminannas tapi dalam batinnya lebih kuat prinsipnya.. terjadilah gejolak itu..
Tidak ada yang salah dengan Hadi mbak....
Berbahagiany bisa menjadi Hadi...dulu aku skul di yayasan Katholik mba, bulak balik ikut vokal group di gereja mewakili skulku krn cewenya cm ada tiga (STM), ikut merayakan paskah di halaman gereja, ikut pelepasan pastor dll...bhkan sempat surat2an dg murid co non muslim...sm sekali ga ada gentarnya...ga berasa apa2...krn buta mata hati...skrg..lewat dpn gerejany aja aku berasa aneh....dan mikir..ko aku dulu mawu2nya masuk kesituuuu...!!!!! salut buat Hadi..smoga iman kita semakin dikuatkan..
ReplyDeletesudahkah ditanyakan kpd hadi, apakah sesungguhnya yg terjadi...?
ReplyDeletesudah Pak Lulu...
ReplyDeletememang itu yang terjadi.
itulah yang dirasakan Hadi...
beliau merasa amat sangat tidak nyaman ketika harus membersihkan gereja.
saya sendiri sangat salut sama Hadi.
saya rasa Hadinya terlalu berlebihan di kampung saya justru yang beragama lain yang datang ke gereja dan menjadi pengikut setia kalu kita tanya, jawabannya... so far so goodlah
ReplyDelete