Monday, February 4, 2008

Diskriminasi Gender??

Sekitar dua bulan lalu, Mas Agung—kakak sepupuku—datang ke jombang hanya untuk memperbaiki komputerku yang semakin menurun tingkat kecerdasannya. Dari pagi hingga siang menjelang sore, dia duduk di sebelahku, menghadap komputer. Sementara aku tetap duduk di singgasanaku sehari-hari.

Ada dua pembeli yang membuatku benar-benar merasa bertanya-tanya. Yang pertama, Seorang ibu agak tua, dengan penampilang biasa-biasa aja. Nothing special. Berniat membeli selembar karpet tebal. Label harga menunjukkan angka 395.000. si Ibu yang gak ada specialnya ini menawar 300.000 saja. Sementara aku minta harga 375.000. tawar menawar berlangsung alot. Dan tampaknya si Ibu sudah mulai lelah. Dia beranjak meninggalkanku, pura-pura akan pergi dan tidak jadi membeli. Sementara aku keluar dari area kasir dan menghampiri, mencoba membujuknya dengan mengerahkan segala kemampuanku. Si Ibu senyum-senyum saja. Lalu dia dengan agak kesal, menghampiri Mas Agung yang masih ‘ngghethu’ dengan komputerku.

“Mas, 325 deh. Aku tambahin 25 lagi. Boleh ya? Sama sampeyan ae, langsung ke bosnya” begitu rayu si ibu. Mas Agung hanya menatap si ibu dan tersenyum penuh arti ketidakmengertian. Dan rupanya si ibu menangkap arti senyum Mas Agung. Dan dengan malu-malu kucing, kembali menghadap kepadaku. Kembali tawar menawar denganku. Namun kali ini, dia lebih menghormatiku sebagai owner.

Kedua, ada sepasang suami istri yang juga hendak membeli karpet berukuran besar. Kami menempatkan karpet-karpet ukuran besar di bagian belakang toko kami. Suami istri itu pun sibuk memilih-milih di belakang ditemani seorang keryawanku. Setelah cukup lama, karyawanku memintaku ikut ke belakang karena mereka hendak menawar harga. Dari harga 800.000, mereka tawar jadi 700.000. sementara aku minta 750.000. beberapa saat kemudian, mereka langsung ke depan meninggalkanku tanpa permisi. Aku menuruh karyawanku untuk mengikuti suami istri tersebut. Ternyata, mereka menghadap ke Mas Agung yang masih juga mengutak-atik komputer, di sebelah meja kasir.

“Pas nya berapa sih mas? Masa 700 aja gak boleh?”
Sekali lagi, mas agung terbengong-bengong. Hanya bisa tersenyum dan mempersilakan mereka untuk menemuiku. “Waduh, bos nya bukan saya. Ke mbak itu aja” katanya sambil menunjukku yang berjalan ke arah mereka. Sekali lagi, ada pembeli yang malu-malu anjing (karena tadi sudah kucing, sekarang gantian anjing aja deh) karena salah menuduh siapa yang menjadi bos di sini.

Selama aku menjaga tokoku ini, tidak pernah ada yang meragukanku sebagai BUKAN bos. Kecuali hari itu, ketika ada mas agung yang duduk di singgasanaku, mengutak-atik komputer. Hanya gara-gara ada mas agung, seorang laki-laki duduk di area kasir, beberapa pembeli jadi beranggapan mas agung-lah bos di toko ini. Aku benar-benar heran. Kenapa perbedaan anggapan itu bisa terjadi. Kenapa mereka beranggapan bahwa bos pastilah seorang lelaki. Baru kali ini aku merasakan diskriminasi gender yang benar-benar menyakitkan.

Dan kejadian itu berulang lagi hari ini, meskipun dengan kondisi yang agak berbeda. Pamanku, baru tiba dari jakarta. Hendak ke surabaya, mampir dulu di jombang. Dia duduk di hadapanku, di depan kasir. Ngobrol banyak hal denganku. Celana panjang dan kemeja rapi. Sambil membuka 9500nya, dia menunjukkan banyak hal berkaitan dengan rencana renovasi tokoku, mengingat sebelumnya aku meminta saran dan pendapatnya. Lalu datang seorang lelaki berusia 30-an akhir. Memilih-milih karpet yang dipajang di toko bagian paling depan. Setelah menentukan satu pilihan, dia langsung menghadap pamanku. “Yo opo karpete Pak? Moso gak oleh 200 wae?”

Pamanku yang agak kaget dengan pertanyaan itu, sempat tersenyum sambil memperbaiki duduknya. Tanpa bicara, tangannya mempersilahkan sang pembeli untuk langsung menghadap aku, yang sedari tadi duduk dengan manis di balik meja kasir. “karpet yang mana pak?” sapaku halus.

“Oh, sampeyan toh bos-e! tak kiro bapaknya ini” katanya sambil malu-malu … (apa ya? tadi kucing sudah, anjing sudah. Silahkan menuliskannya sendiri deh). “Karpete itu lho, pasnya berapa? 200 ae yo?” lanjutnya lagi. Dan kami pun terlibat tawar menawar yang cukup seru setelahnya.

Sebenarnya lucu, aku menikmati keterkejutan mereka saat menyadari bahwa akulah yang paling menentukan harga di tempat ini. Melihat wajah mereka tampak malu-malu mengetahui kesalahannya meragukanku sebagai bos. Seorang perempuan muda, yang tidak pernah mereka sangka. Tapi menyakitkan juga rasanya meyadari bahwa kita diremehkan. Dianggap tidak pantas. Dan diragukan. Apa yang lebih tepat ya? Diskriminasi gender atau pelecehan gender? Well, apapun namanya… hal itu cukup tidak mengenakkan.

2 comments:

  1. Ya ampun Elsa...
    Nama toko-nya kan "Putra Gembira" ya ga salahkan yang beli pasti pikir bosnya 'putra' he..he..

    itukan bisa jadi inspirasi buat nama toko kamu Sa.

    Let's list:
    - toko 'Juragane Wedok'
    (hmmm... kayanya namanya terlalu lokal ya?,jowo banget ngono loh mba) :D
    - toko 'Bosnya Cewek'
    (terlalu gaul gitu ya...)
    - toko 'Emansipasi Wanita'
    (jadi inget 21 April, Ibu kita Kartini) he...
    - toko 'Woman inCharge'
    (international taste...)
    - apa lagi ya? Tambahin sendiri deh :D

    anyway,kalo kebudayaan patriarki ya emang gitu. If we cannot change people,we can change their perception.hope you succeed ya?

    it seems that you will start something Big with your shop.
    Post here ok?

    ReplyDelete

jangan lupa baca Basmalah sebelum komen...
"Bismillahirrahmanirrahiiiiiiim......"

and please, ANONYMOUS is not allowed.